Tulisan ini saya buat setelah beberapa saat menunaikan ibadah sholat subuh,
tepatnya setelah 5 hari kepindahan saya di tempat yang baru. Dengan
cuaca yang cukup dingin, karena hari sebelumnya kota pelabuhan kecil ini di
guyur hujan yang cukup lebat, membuat saya harus mengenakan jaket untuk sedikit memberikan
rasa hangat di badan. Di dalam ruang tengah rumah dinas yang cukup besar yang
saya tempati sendiri, ditemani secangkir teh hangat dan mp3 tilawah surat Ar-Rahman yang dilantunkan
sangat merdu oleh Syeh Sa’ad Al-Ghamidi, dengan lincahnya
jari-jemari saya pun menari di atas keypad laptop kesayangan yang sudah menemani
beberapa tahun ini. Hmm..... Alhamdulillah... cukup menentramkan ditengah suara serangga bersaut-sautan di luar rumah.
Ucapan syukur saya panjatkan, meskipun belum bisa
sepenuhnya menyesuaikan diri di tempat baru ini. Saya masih jauh lebih beruntung dari pada sekian
juta orang diluar sana. Yakin saja Allah
SWT sudah menyiapkan planning yang terindah dibalik keadaan dan kondisi kita
sekarang. Apapun keadaan atau masalah yang kita hadapi, patut dan layaknya
harus disyukuri, karena Allah selalu punya maksud dan pelajaran di
setiap masalah dalam kehidupan kita.
Baiklah, pada kesempatan ini saya mau bercerita bagaimana harus adapatasi di
lingkungan yang baru ini. Bagi kita, yang biasa tinggal di lingkungan yang
mayoritas masyarakat yang berculturkan islam, tentunya seruan shalat atau adzan
bisa kita dengarkan melalui
speaker-speaker masjid dengan begitu lantang dan kerasnya.
Jadi ingat, waktu
masih kost kebetulan kosan saya berada di samping persis di samping masjid. Kalau
adzan subuh saja rasanya speakernya seperti di taruh persis di langit-langit
kamar, kedengaran keras sekali. Mau tidak mau, bangun tidak bangun ya pasti
akan bangun, untuk menunaikan jamaah sholat subuh. Tidak perlu waktu lama dengan
sekejap sudah sampai di masjid. Kali ini, di
tempat baru pertama saya bersyukur, alhamdulillah sekali mayoritas masyarakat adalah
muslim. Masjid tidak jauh, paling hanya setengah kilo dari rumah. Hehe...
Lumayan lah,
bagi saya yang dikaruniai kaki cukup jenjang dan langkah yang cukup lebar 2 kali
dari rata-rata kebanyakan orang, untuk
jalan tidak sampai 10 menit. Wong untuk naik gunung berjam-jam aja kita sanggup, masa untuk memenuhi
panggilannya kita berat #tamparan
#plakplak
Meskipun suara adzan yang terdengar sayup-sayup seperti radio nggak ada
dapat sinyal,
bersyukur dan masih beruntung sekali lah saya masih bisa dengar seruan-Nya. Pernah saya diceritakan oleh seorang teman yang dapat penempatan di barat pulau
sumatera sana. Tidak perlu lah disebutkan orangnya. hehe
Katanya cuma dia yang muslim sendiri di kantor
dan bahkan di kampung dimana ia tinggal. Bayangkan? Jangankan berharap mau dengar adzan, kalau mau sholat jumat saja harus ke masjid
di kota yang perjalanan buat ke sana tidak sebentar. Hmmm..., dibandingkan keadaannya tentu saya lebih beruntung.
Kata Ahmad Rifai’ Rif’an dalam buku yang sangat bagus yang tengah saya baca “Man Shabara Zhafira”, dituliskan:
“Kalau kita mendengar
seseorang mengeluh bahwa kehidupan atau masalah itu berat, tanya saja
dibandingkan dengan apa???”
Katanya bagaimana biar kita bisa bersyukur, yaitu senantiasa melihat ke bawah. Melihat kondisi orang-orang yang kekurangan, keterbatasan, kesusahan. Karena dengan demikian kita bisa mensyukuri apa yang kita miliki. Lain halnya dengan ilmu dan amalan kita harus melihat ke atas, agar selalu termotivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam Al-Quran pun diterangkan tidak ada seorang manusia pun yang hidup di dunia ini, yang tidak
diuji oleh Allah SWT. Semua manusia pasti akan diuji oleh Allah, dan itulah
hakikat hidup di dunia ini. Seperti dalam firman-Nya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Kalau biasanya terdengar suara
adzan yang lantang dan begitu kerasnya. Kini harus mencari suara sayup-sayup
suara adzan yang terdengar.
Kalau biasanya untuk memenuhi
panggilan adzan, bisa dengan secepat kilat dan tidak perlu bersusah-susah. Kini
harus lebih mempercepat langkah, datang ke masjid pas pada waktunya agar tidak
masbuk untuk berjamaah
Kalau biasanya bakdha subuh dan bakdha maghrib biasa mendengar tilawah, dan rasanya ada yang hilang kalau kita tidak ikut tilawah. Kini harus tilawah dalam kesendiran.
Kalau biasanya pas lagi malas atau
ketiduran selalu ada teman yang mengingatkan dan membangunkan. Kini hanyalah
kesadaran diri, semoga tidak goyah dan tetap istiqomah.
Kalau
biasanya selalu ada suntikan rukhiah dan penambah ghirah melalui halaqah atau kajian perpekan, kini
harus inisiatif sendiri mendatangi majelis ilmu atau membaca buku untuk
memotivasi diri.
“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Semoga kita tetap semangat dan istiqomah menjalankan perintahnya.
Semoga bisa bermanfaat dan terutama menjadi pengingat buat penulis.